Balita malanutrisi berisiko meninggal di Yaman yang dilanda perang
Sanaa (KLiCk) – Hafidhah Jamal, seorang anak perempuan Yaman berusia 22 bulan, menderita malanutrisi parah selama lebih dari setahun. Dia hampir saja meninggal dunia setelah keluarganya, dengan segala kesulitan, berhasil membawanya ke rumah sakit di Sanaa, ibu kota Yaman, untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik.
“Setelah kulit Hafidhah berubah menjadi cokelat gelap dan mulai mengelupas, kami melarikannya ke rumah sakit di distrik kami. Dokter mengatakan kepada kami bahwa dia berada dalam kondisi kritis dan harus segera dipindahkan ke rumah sakit khusus di Sanaa,” kata Mohammad Al-Sufi, kakek Hafidhah, kepada Xinhua.
Setibanya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Al-Sabeen, sebuah rumah sakit umum utama yang menangani kasus malanutrisi di Sanaa, Hafidhah dirawat di unit perawatan intensif karena kondisinya yang sangat gawat, kata Ameen Al-Ayzari, seorang dokter di rumah sakit tersebut.
“Anak perempuan itu hanya tinggal kulit dan tulang, dengan berat badan 5,15 kg. Dia mengalami gejala malanutrisi akut yang nyata dan membutuhkan perawatan segera agar dapat terus bernapas dan tetap hidup,” kenang Al-Ayzari.
Menurut dokter itu, Rumah Sakit Ibu dan Anak Al-Sabeen merawat puluhan pasien malanutrisi setiap harinya, sebagian besar berasal dari daerah terpencil seperti Hafidhah, yang tinggal di Kegubernuran Hajjah, 127 km sebelah barat laut Sanaa.
Kendati kamar-kamarnya, bahkan koridor-koridornya, penuh sesak oleh anak-anak yang mengalami malanutrisi serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan (stunting), rumah sakit itu biasanya hening karena anak-anak ini, meskipun menderita, terlalu lemah untuk menangis.
Perang saudara, yang bermula pada akhir 2014 antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman, telah merenggut ratusan ribu nyawa dan menjerumuskan jutaan warga ke ambang kelaparan, demikian menurut perkiraan PBB.
Lebih buruk lagi, banyak keluarga miskin, terutama yang berasal dari desa-desa terpencil, tak mampu membayar biaya perawatan di Sanaa dan kerap terpaksa pulang sebelum anak-anak mereka sembuh, kata Hael Al-Jarbani, pengawas departemen malanutrisi di rumah sakit tersebut, kepada Xinhua.
Kesulitan itulah yang dihadapi keluarga Hafidhah. Karena tak mampu membayar biaya pengobatan yang tinggi, mereka tak punya pilihan selain meninggalkan rumah sakit sebelum Hafidhah sembuh total, keluh sang kakek.
Sementara itu, Rumah Sakit Ibu dan Anak Al-Sabeen sendiri menghadapi tantangan sangat besar, termasuk persediaan medis yang terbatas, biaya operasional yang tinggi, dan penundaan pembayaran gaji, sehingga mengganggu layanan medis untuk anak-anak penderita malanutrisi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 46 persen fasilitas kesehatan di Yaman hanya berfungsi sebagian atau tidak berfungsi sama sekali akibat perang saudara berkepanjangan.
Sebuah laporan dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) terkait situasi terbaru di Yaman mengatakan pada Jumat (13/12) bahwa sekitar 62 persen rumah tangga yang disurvei di seluruh Yaman melaporkan konsumsi makanan yang tidak memadai pada Oktober. Mengutip proyeksi dari Kelompok Ketahanan Pangan dan Pertanian (Food Security and Agriculture Cluster), laporan tersebut menambahkan bahwa hampir 17,1 juta warga Yaman kemungkinan akan mengalami kerawanan pangan akut pada 2025.
Kerawanan pangan yang makin parah mendongkrak tingkat malanutrisi di Yaman, yang kini menjadi salah satu tingkat malanutrisi tertinggi di dunia.
Namun, seiring konflik Yaman memasuki dekade kedua, jalan menuju perdamaian masih sulit tercapai, dengan dinamika domestik dan regional yang terus memainkan peranan penting dalam membentuk masa depan negara tersebut.
Artikel Asli