Wamenlu: Mineral kritis semakin jadi kunci bagi negara berkembang

Jakarta (KLiCk) – Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno menegaskan pentingnya kerja sama antara negara berkembang dalam aspek pengembangan mineral kritis yang menjadi kunci dan alat tawar yang penting menghadapi negara-negara maju.
“Mineral kritis memberi daya ungkit yang penting bagi negara-negara Non-Blok,” kata Havas dalam konferensi pers di sela-sela agenda peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika oleh CSIS Indonesia di Jakarta, Rabu.
Menurut Wamenlu, saat ini tak sedikit negara-negara berkembang dan anggota Gerakan Non-Blok baik di Asia, Amerika Latin, maupun Afrika yang memiliki kekayaan sumber daya mineral kritis.
“Sayangnya, masih belum ada suatu diskusi yang layak antara negara-negara Non-Blok terkait hal tersebut,” ucap dia.
Havas mengatakan, dialog antarnegara terkait mineral kritis yang selama ini berlangsung hanya dalam taraf regional dan belum pada tingkat yang lebih luas antara negara-negara berkembang sedunia.
Padahal, dialog dalam taraf yang lebih luas dapat menjadi wahana bagi negara-negara berkembang untuk saling belajar dan mendalami cara mengoptimalkan sumber daya mineral kritis supaya mendatangkan keuntungan ekonomi yang signifikan.
Nilai produk domestik bruto (PDB) sejumlah negara Non-Blok pun saat ini telah menandingi negara-negara yang sudah mapan sejak dulu, sebagaimana PDB Indonesia dengan Belanda, kata Wamenlu.
“Dinamika dan daya tawar yang kita miliki saat ini sudah berbeda, dan artinya, negara-negara Non-Blok saat ini memiliki daya tawar yang jauh lebih besar dari dulu,” ucap dia, menambahkan.
Selain mineral kritis, Wamenlu menyoroti pentingnya kerja sama negara berkembang dalam mencari alternatif pembiayaan perubahan iklim setelah janji dari negara-negara Barat untuk mengucurkan hingga 100 miliar dolar AS untuk tujuan tersebut kemungkinan belum akan terwujud dalam waktu dekat.
Havas juga mendorong kolaborasi antara negara berkembang dalam penentuan harga jumlah gas efek rumah kaca (carbon pricing) yang adil untuk membiayai mitigasi perubahan iklim.
Artikel Asli