Dunia

Manuskrip Sutra China Berumur 2.300 Tahun Berhasil Dipulangkan

Beijing (KLiCk) – Pada Minggu (18/5) dini hari, sebuah penerbangan komersial dari Washington DC mendarat di Beijing, mengangkut muatan budaya yang luar biasa, yakni koleksi fragmen manuskrip sutra kuno China, yang berasal dari periode Negara-Negara Berperang (Warring States) pada 475-221 SM.

Tanpa diketahui oleh sebagian besar penumpang, perjalanan mereka berbarengan dengan salah satu repatriasi budaya paling signifikan di China hingga saat ini.

Dikembalikan oleh Museum Seni Asia Nasional Smithsonian pada Jumat (16/5), fragmen-fragmen itu merupakan bagian dari “Wuxing Ling” dan “Gongshou Zhan”, dua jilid terakhir dari Manuskrip Sutra Zidanku. Jilid pertamanya sebagian besar masih utuh meski disimpan lama di luar China.

Artikel Terkait

Secara kolektif, manuskrip sutra yang berisi lebih dari 900 aksara Mandarin itu merupakan contoh teks sutra paling tua yang ditemukan hingga saat ini sekaligus buku China klasik tertua dalam arti sebenarnya.

“Wuxing Ling” terdiri dari ilustrasi bulan kalender lunar yang disertai dengan teks penjelasan, mencatat pantangan musiman dan praktik-praktik yang mendatangkan keberuntungan di sepanjang tahun.

“Gongshou Zhan” menampilkan naskah yang disusun dalam formasi melingkar yang langka dan dibaca searah jarum jam, mengindikasikan arah, tanggal, serta waktu yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dalam menyerang dan mempertahankan kota.

Manuskrip Sutra Zidanku sudah ada seabad lebih sebelum “Gulungan Laut Mati” yang terkenal. Naskah luar biasa itu memberikan wawasan tentang kosmologi kuno China, filosofi temporal, dan interpretasi eksistensi umat manusia.

“Dokumen-dokumen tersebut memiliki makna yang sangat penting bagi studi aksara dan literatur Mandarin kuno, serta sejarah akademis dan ideologi China,” ujar profesor Li Ling dari Universitas Peking, yang menghabiskan waktu lebih dari 40 tahun untuk menelusuri asal-usul manuskrip tersebut.

Para penjarah makam mencuri manuskrip sutra tersebut dari makam negara Chu di situs Zidanku di Changsha, Provinsi Hunan, pada 1942. Empat tahun kemudian, manuskrip sutra tersebut diselundupkan ke luar China.

Kembalinya manuskrip tersebut menginspirasi banyak warga China. “Selamat datang kembali, harta karun nasional. Saya berharap semakin banyak peninggalan budaya yang hilang di luar negeri dapat direpatriasi segera,” kata seorang pengguna platform media sosial China Weibo saat mengomentari hal ini.

Repatriasi tersebut difasilitasi oleh beberapa faktor, salah satunya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antarpemerintah antara China dan Amerika Serikat (AS), yang memberlakukan pembatasan impor terhadap material arkeologis dan artefak budaya China.

Kali pertama ditandatangani pada Januari 2009 dan diperbarui pada 2014 dan 2019, MoU tersebut baru-baru ini diperpanjang hingga lima tahun ke depan mulai 14 Januari 2024.

MoU itu mencakup berbagai material arkeologis yang diklasifikasikan dari periode Paleolitik hingga akhir Dinasti Tang (618-907), serta pahatan monumental dan seni dinding yang berusia lebih dari 250 tahun. Antara 2009 hingga 2023, MoU itu membantu memfasilitasi pemulangan 504 benda atau kumpulan artefak China dari AS.

Namun demikian, repatriasi artefak budaya yang diambil paksa sepanjang sejarah dan tidak termasuk dalam cakupan konvensi internasional yang berlaku masih menjadi tantangan dalam tata kelola warisan budaya.

Setelah mengumpulkan serangkaian bukti kuat terkait Manuskrip Sutra Zidanku, China resmi menerbitkan sebuah nota kepada Institusi Smithsonian yang meminta pemulangan “Wuxing Ling” dan “Gongshou Zhan” pada 30 April 2024.

Setelah melakukan konsultasi ekstensif yang didasarkan pada dialog dan kerja sama, serta didukung penelitian penelusuran yang menyeluruh, Museum Seni Asia Nasional Smithsonian sepakat untuk memulangkan harta karun budaya itu ke China.

Saat matahari pagi terbit, “Wuxing Ling” dan “Gongshou Zhan” telah kembali ke rumah dan dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan keduanya di Administrasi Warisan Budaya Nasional (National Cultural Heritage Administration/NCHA) China.

Dua manuskrip itu akan dipamerkan di Museum Nasional China pada Juli mendatang, bersama dengan berbagai artefak budaya yang telah direpatriasi lainnya.

Luar biasanya, sebanyak 2.310 benda atau kumpulan peninggalan budaya China yang hilang telah direpatriasi sejak 2012, tahun diselenggarakannya Kongres Nasional ke-18 Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC).

Seorang pejabat senior NCHA menyatakan administrasi tersebut akan terus berupaya memulangkan Sishi Ling, jilid pertama dari Manuskrip Sutra Zidanku, sesegera mungkin.


Artikel Asli

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button